Daftar Blog Saya

Jumat, 05 Juli 2019

KEMAMPUAN AWAL PESERTA DIDIK


KEMAMPUAN AWAL PESERTA DIDIK

A. Pengertian Kemampuan Awal Peserta Didik 

Setiap masing-masing peserta didik hadir ke ruang kelas dengan membawa berbagai macam pengetahuan, keterampilan, keyakinan, dan sikap yang berbeda-beda yang mereka peroleh dari pengalaman-pengalaman terdahulu (Beyer, 1991). Perbedaan latarbelakang inilah yang kemudian berimplikasi dan berpengaruh terhadap bagaimana peserta didik hadir di kelas untuk kemudian menafsirkan dan mengelola informasi yang diperoleh. Peserta didik pada hakekatnya belajar ketika mereka mampu menghubungkan antara konsep-konsep baru dengan pengetahuan atau konsep yang telah mereka punyai atau ketahui. Perbedaan cara peserta didik di dalam memproses dan mengintegrasikan informasi baru dapat berakibat pada berbeda-bedanya pula mereka dalam mengingat (memorizing), berpikir, menerapkan, dan menciptakan pengetahuan baru. Kemampuan awal peserta didik tidak hanya berkaitan pula dengan pengetahuan atau materi mata pelajaran tertentu. Namun, kemampuan awal yang dimaksud dapat berupa pengetahuan dalam dimensi-dimensi yang berbeda, seperti misalnya proses metakognitif dan pemahaman diri (self-understanding).
Pengetahuan pada dasarnya bukan sekedar komoditas yang dapat ditransfer dari satu pikiran ke pikiran yang lain tanpa adanya transformasi (Bettencourt, 1993). Transformasi disini artinya adalah pemerolehan makna atau pun pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan atau pengalaman yang sudah diperoleh sebelumnya oleh peserta didik. Pengetahuan dan pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh peserta didik merefleksikan pentingnya kemampuan awal di dalam pembelajaran. Peserta didik pada hakekatnya bukan papan tulis kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh seorang guru. Peserta didik justru memiliki kemampuan yang cukup signifikan dalam menginterpretasi situasi pembelajaran maupun fenomena lebih dari yang kita sadari. Apa yang mereka pelajari dikondisikan oleh apa telah mereka ketahui atau pelajari.
Pengetahuan ini terdiri dari gabungan fakta, konsep, model, persepsi, keyakinan, nilai, dan sikap, yang beberapa di antaranya akurat, lengkap, dan sesuai dengan konteks yang akan dipelajari, namun beberapa di antaranya bisa jadi merupakan pengetahuan awal yang tidak akurat, dan tidak mencukupi sebagai pra-syarat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu. Idealnya, peserta didik membangun landasan pengetahuan yang kuat dan akurat sebelumnya, menjalin hubungan antara pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dengan pengetahuan baru yang pada akhirnya dapat membantu mereka membangun struktur pengetahuan yang semakin kompleks  dan kuat. Namun, bisa saja terjadi peserta didik mungkin tidak mampu membuat koneksi ke pengetahuan sebelumnya yang relevan — dengan kata lain, jika pengetahuan itu tidak aktif — sehingga berimplikasi pada tidak terfasilitasinya integrasi pengetahuan awal ke pengetahuan baru. Hal ini disebabkan karena kemampuan awal peserta didik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap desain dan pengembangan instruksional yang akan dilakukan oleh guru.
Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik terhadap sebuah subyek tertentu akan mempengaruhi bagaimana dan apa yang akan mereka pelajari (Dick, Carey, & Carey, 2009). Oleh karena itu, salah satu komponen penting yang diperlukan dalam mendesain suatu mata pelajaran adalah mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik anda. Guru dan peserta didik sudah seharusnya menjadikan karakteristik peserta didik yang terkait dengan kemampuan awal sebagai pijakan dalam mendesain, mengembangkan dan melaksanakan program-program pembelajaran.
Kemampuan awal adalah pemahaman, pengalaman, pengetahuan prasyarat, dan segala sesuatu yang dimiliki oleh peserta didik sebagai pegetahuan awal (prior knowledge) dan disusun secara hirarkis sebagai basis data pengalaman (experiential data base) di dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, jika guru mengajarkan materi yang tingkat kesulitannya di atas kemampuan peserta didik, maka akan berimplikasi pada ketidak-efektifan proses dan hasil pembelajaran. Peserta didik akan mengalami kesulitan memahami materi tersebut disebabkan oleh adanya materi prasyarat (pre-requisite), pengetahuan atau kemampuan awal lainnya yang seharusnya menjadi pijakan bagi perolehan pengetahuan baru belum dikuasai oleh peserta didik. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Ausubel dalam Driscoll (1994) yang menegaskan bahwa mengaktifkan kemampuan awal (prior knowledge) yang relevan sangat penting untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna.
Sementara itu Rebber (1988) dalam Muhibbin Syah (2006: 121) menyatakan bahwa kemampuan awal peserta didik merupakan prasyarat awal yang dapat dipergunakan untuk mengetahui adanya perubahan. Selanjutnya Gerlach & Ely (1971) mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik pada dasarnya ditentukan dengan cara memberikan entry test atau tes masuk. Kemampuan awal ini juga sangat penting bagi pendidik untuk mendesain pembelajaran dengan memberikan dosis muatan peljaran atau materi yang tepat dan memadai, termasuk juga untuk menentukan tingkat kesukaran dan kemudahan materi. Selain itu juga kemampuan awal sangat berguna bagi pendidik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan di dalam proses belajar mengajar.
Dalam hal ini, Gagne (1979) menyatakan bahwa kemampuan awal mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan atau pengetahuan baru di dalam pembelajaran dimana kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki peserta didik sebelum memasuki pembelajaran menuju materi berikutnya yang lebih tinggi. Dengan demikian, seorang peserta didik yang sudah memiliki kemampuan awal yang baik akan lebih cepat memahami materi pelajaran dibandingkan dengan dengan peserta didik yang tidak memiliki kemampuan awal dalam proses pembelajaran.
Atwi Suparman (2001) juga menjelaskan bahwa kemampuan awal adalah pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Senada dengan itu, Dick & Carey (2005) menambahkan bahwa kemampuan awal merupakan suatu keterampilan khusus yang dimiliki oleh peserta didik yang harus dapat mereka tunjukkan sebelum mengikuti suatu kegiatan pembelajaran tertentu. John P. Decoco (1976) juga berpendapat bahwa kemampuan awal merupakan keadaan pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang dimiliki saat ini, dan nantinya akan dihubungkan dengan keadaan pengetahuan dan keterampilan mereka yang akan datang yang diharapkan oleh guru untuk dapat dicapai oleh peserta didik.
Berdasarkan beberapa definisi kemampuan awal yang telah disampaikan oleh para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang dimiliki oleh peserta didik pada saat sekarang (sebelum mengikuti pembelajaran) dan berfungsi sebagai referensi atau input utama bagi guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran, terutama untuk menetapkan tujuan pembelajaran serta desain pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Selain itu, kemampuan awal ini juga sangat penting diketahui oleh guru terutama untuk mengidentifikasi dua hal berikut: a) apakah peserta didik telah mempunyai pengetahuan atau kemampuan yang merupakan prasyarat (prerequisite) untuk mengikuti pembelajaran; dan b) sejauhmana peserta didik telah mengetahui atau menguasai materi yang akan disajikan oleh guru.
Dengan demikian, diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan salah satu variabel penting dalam penentuan desain dan proses pembelajaran. Upaya pembelajaran apapun yang dipilih dan dilakukan oleh guru jika tidak bertumpu pada kemampuan awal peserta didik selaku subyek belajar yang aktif, maka pembelajaran tidak akan bermakna. Karakteristik peserta didik yang terkait dengan pengetahuan awal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Oleh karena kedudukannya yang sangat signifiknan tersebut, maka dibutuhkan kemampuan seorang guru untuk menganalisa karakteristik kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik sebagai landasan dalam memilih metode dan strategi pembelajaran yang sesuai. Kemampuan awal sangat berpengaruh pula terhadap proses-proses internal yang berlangsung di dalam diri peserta didik ketika belajar dan juga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pelaksanaan dan hasil belajar peserta didik secara komprehensif. Hal ini disebabkan karena kemampuan awal menggambarkan kesiapan (readiness) peserta didik dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.

 B.     Kegunaan dari Identifikasi Kemampuan Awal Peserta Didik 

Dalam upaya mendesain pembelajaran yang bermakna, peserta didik pada hakekatnya harus memenuhi dua kriteria pemahaman, yaitu “keterhubungan" dan "kegunaan dalam konteks sosial” (Smith, 1991). "Connectedness", atau yang disebut juga keterhubungan tersebut dimulai ketika sebuah ide dipahami oleh sejauh mana siswa dapat dengan tepat menggambarkannya dan menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya dalam konteks sosial, hal ini disebut juga dengan struktur pengetahuan seseorang. Sedangkan "Kegunaan", menggambarkan "fungsi dari pengetahuan seseorang", yakni ketika sebuah ide dipahami oleh sejauh mana yang peserta didik dapat menggunakan ide itu dan berhasil melakukan tugas yang signifikan sesuai dengan konteks sosial (Smith, 1991). Lalu, bagaimanakah cara seorang pendidik dapat dengan tepat memfasilitasi peserta didik dalam pembelajarannya? Berikut ini akan dideskripsikan beberapa kegunaan dari identifikasi kemampuan awal peserta didik.
Pertama, pendidik harus memahami bagaimana struktur dan fungsi pengetahuan atau kemampuan awal peserta didik terhubung selama proses pembelajaran. Dunkin dan Biddle (1974) menggambarkan sebuah model (Gambar 1) untuk membantu memahami interaksi antara proses dan faktor yang mengintervensi dalam situasi belajar mengajar. Memahami interaksi ini akan sangat membantu peserta didik untuk belajar lebih bermakna. Keberhasilan maupun kegagalan dalam proses pembelajaran sebagian besar tergantung pada faktor-faktor yang mengintervensi dalam pembelajaran itu sendiri, terutama terkait dengan kemampuan awal peserta didik. Dalam hal ini, Dochy (1992) menegaskan bahwa pengetahuan atau kemampuan awal yang telah dimiliki oleh peserta didik, memiliki pengaruh yang besar terhadap cara dan tingkat pengetahuan baru tersebut dipahami, disimpan, dan digunakan oleh peserta didik.
Kedua, dalam hal pentingnya mendiagnosis kemampuan awal ini, Harris (2000: 1) juga mengemukakan bahwa diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan salah satu variabel penting dalam penentuan proses pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa “the recognition of prior learning (RPL) refers to practice developed within education and training to identify and recognise adults pevious learning. The broad principle is that previous learning – acquired informally, non-formally, experientally or formally- can and should be recognised and given currency within formal education and training framework”. Dalam hal ini, diagnosis kemampuan awal perlu dilakukan untuk mengetahui pengetahuan atau pembelajaran yang telah diperoleh oleh peserta didik baik secara formal maupun tidak formal. Pengetahuan akan kemampuan awal tersebut perlu diidentifikasi agar proses pembelajaran dapat selaras antara guru dengan peserta didik.
Ketiga, kemampuan awal juga digunakan tidak hanya untuk kepentingan keselarasan dalam proses pembelajaran, melainkan juga untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran. Kemampuan awal peserta didik juga berdampak pada kemudahan dalam mengikuti proses pembelajaran dan juga memudahkan pengintegrasian proses-proses internal yang berlangsung dalam diri peserta didik ketika belajar (Hamzah Uno, 2011). Martinis Yamin (2007: 32) mengungkapkan salah satu manfaat dan kegunaan yang diperoleh ketika mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik adalah guru dapat memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kompetensi/ kemampuan awal para peserta didik yang berfungsi sebagai prerequisite bagi bahan materi baru yang akan disampaikan. Kegunaan selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik maka guru dapat dengan lebih mudah dan tepat dalam mengembangkan strategi, media, dan evaluasi pembelajarannya. Implikasi yang lebih luas yaitu, kebutuhan peserta didik dapat diakomodasikan sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa kemampuan awal memiliki peranan penting dalam pembelajaran. Telah dijelaskan di atas bahwa sebelum pembelajaran dilakukan, guru harus mengetahui karakteristik awal dari peserta didiknya, salah satunya yaitu kemampuan awal siswa. Menurut Smaldino (1996) seperti yang dikutip Dewi Salma (2008: 20) bahwa setiap peserta didik berbeda satu sama lain karena karakteristik umum, kemampuan awal prasyarat dan gaya belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemampuan awal atau prasyarat merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki sebelum peserta didik akan mempelajari kemampuan baru. Oleh sebab itu, penting bagi seorang guru untuk mengetahui karakteristik awal siswa sebelum merencanakan pembelajaran karena jika kurang, kemampuan awal ini menjadi mata rantai penguasaan materi dan menjadi penghambat dalam proses belajar. Dalam hal ini, guru dapat mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan informal seperti menanyakan tentang topik-topik tertentu pada saat pembelajaran di kelas. Selain itu, guru dapat pula memberikan tes formal berupa tes-tes standar yang dikembangkan sebelumnya.

Peserta didik menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang sudah mereka ketahui, menafsirkan informasi yang masuk, dan bahkan mempersepsikannya melalui indra, melalui lensa pengetahuan, keyakinan, dan asumsi mereka yang mereka ketahui (Vygotsky, 1978; National Research Council, 2000). Bahkan, ada kesepakatan luas di kalangan peneliti bahwa sangat penting bagi peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya untuk kepentingan pembelajaran (Bransford & Johnson, 1972; Resnick, 1983). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengajukan pertanyaan kepada peserta didik yang dirancang secara khusus untuk memicu retensi atau pengungkapan kembali informasi atau pengetahuan yang lama dapat membantu mereka menggunakan pengetahuan sebelumnya tersebut untuk melakukan integrasi dan retensi terhadap informasi baru (Woloshyn, Paivio, & Pressley, 1994).
Menurut Suprayekti dan Agustyarini (2015: 50), identifikasi pengetahuan tentang kemampuan awal peserta didik sangat penting karena memiliki kegunaan sebagai berikut:
a.               Memberikan dosis pelajaran yang tepat. Artinya, materi yang diberikan dapat diorganisasikan dengan lebih baik, tidak terlalu mudah bagi peserta didik karena materi yang akan diajarkan ternyata sudah dikuasai oleh peserta didik; ataupun tidak terlalu sulit karena bisa saja terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara kemampuan awal awal peserta didik dengan pengetahuan baru yang harus dikuasai.
b.              Mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti misalnya apakah peserta didik memerlukan remedial sebelum mereka siap menerima materi baru. Melalui identifikasi kemampuan awal peserta didik maka guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang tepat termasuk pemilihan strategi, media, dan penilaian pembelajaran dengan lebih baik.
c.               Mengukur apakah peserta didik memiliki prasyarat yang dibutuhkan. Prasyarat disini adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik sebelum mengikuti pelajaran tertentu. Analisis kemampuan peserta didik berfungsi juga untuk menggambarkan statistik kemampuan yang dimiliki peserta didik. Dalam hal ini, jika kemampuan prasyarat untuk mengikuti pembelajaran telah dimiliki peserta didik, maka pembelajaran dapat dilanjutkan ke topik/materi berikutnya. Sebaliknya, jika tidak maka guru dapat meminta peserta didik mengambil tambahan pelajaran khusus/tertentu atau bahkan melakukan review/kajian terhadap materi terkait sebelum masuk pada materi pembelajaran yang sebenarnya.
d.             Memilih pola-pola pembelajaran yang lebih baik. Dengan mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik, maka guru dapat mendesain skenario pembelajaran dengan lebih baik, serta menentukan materi dengan lebih terorganisir, memilih strategi apa yang akan digunakan, serta menentukan media pembelajaran apa yang tepat dan dapat digunakan untuk membantu kegiatan pembelajaran.

C.    Teknik-Teknik Mendeteksi Kemampuan Awal Peserta Didik

Setelah mengetahui dan memahami kegunaan atau fungsi dari mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik, selanjutnya akan dibahas beberapa teknik dalam mendeteksi kemampuan awal peserta didik. Teknik-teknik yang dimaksud bisa dilakukan baik secara informal (seperti misalnya mengajukan pertanyaan ke kelas) maupun dengan cara-cara yang lebih formal (misalnya, melakukan kajian/tinjauan terhadap hasil ujian terstandardisasi atau memberikan ujian dan penilaian yang dibuat oleh guru). Ujian masuk merupakan penilaian yang menentukan apakah peserta didik memiliki prasyarat atau kompetensi-kompetensi yang diperlukan sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan optimal. Sebagai contoh, jika anda akan mengajar peserta didik tentang proses pemilihan Presiden, maka peserta didik harus sudah memahami makna “presiden” terlebih dahulu sebagai salah satu konten prasyarat atau kemampuan awal peserta didik. Dengan demikian, konten terkait presiden ini tidak perlu lagi disertakan ke dalam mata pelajaran.
Untuk membantu mengklarifikasi kemampuan awal, sangat penting bagi seorang guru untuk membuat daftar kemampuan awal apa sajakah yang diperlukan di dalam rencana mata pelajaran. Dalam melakukan pendataan atau pencermatan terhadap jenis-jenis kemampuan awal yang akan dimasukkan ke dalam rencana mata pelajaran, guru dapat melakukannya dengan cara menyatakan jenis-jenis kemampuan awal tersebut ke dalam format “jenis tujuan”. Dalam materi pemilihan presiden misalnya, kemampuan awalnya bisa ditentukan sebagai berikut: “para peserta didik bisa mendefinisikan presiden”. Sedangkan untuk materi Geometri, kemampuan awal yang bisa dituliskan adalah: ‘para peserta didik bisa/mampu mengalikan”. Setelah kemampuan awal sudah berhasil diidentifikasi dan ditentukan, maka guru bisa menggunakan ujian masuk (entry test) untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum masuk ke mata pelajaran yang akan diajarkan. Ujian masuk tersebut, mungkin dibutuhkan untuk menilai konten yang akan diajarkan untuk mengetahui apakah peserta didik belum menguasai apa yang guru rencanakan untuk ajarkan.
Lebih lanjut, Suprayekti dan Agustyarini (2015: 52) menyatakan bahwa teknik mendeteksi kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan diantaranya dengan:
a.               Menggunakan catatan atau dokumen yang tersedia. Dalam hal ini, catatan kemajuan peserta didik (raport) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi untuk mendeteksi kemampuan awal peserta didik.
b.              Menggunakan tes prasyarat (prerequisite test) dan tes awal (pre-test). Tes prasyarat adalah tes untuk mengetahui apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan ataupun dipersyaratkan sebelum mengikuti pelajaran tertentu. Sedangkan tes awal merupakan tes yang dilakukan untuk mendeteksi seberapa jauh peserta didik telah memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait pelajaran yang akan diikuti. Teknik yang dapat dilakukan oleh guru diantaranya adalah dengan menggunakan wawancara, observasi, dan memberikan kuesioner kepada peserta didik.
c.               Mengadakan konsultasi individual. Teknik ini dapat dilakukan oleh guru dengan cara mewawancarai peserta didik secara informal, bisa berupa konseling untuk mengetahui prestasi peserta didik ataupun untuk mengelaborasi masalah yang mungkin sedang dimiliki oleh peserta didik.
d.             Menggunakan angket atau kuesioner kepada peserta didik untuk memperoleh informasi terkait bagaimana karakteristik peserta didik khususnya kemampuan awal ataupun pengalaman yang sudah dimiliki oleh peserta didik.

Beberapa teknik tersebut di atas dapat dipergunakan oleh guru sebagai alternatif dalam mendeteksi kemamppuan awal peserta didik sebelum mendesain pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, mendeteksi kemampuan awal peserta didik juga dapat dilakukan dengan mendiskusikan beberapa topik yang relevan sebelum guru memulai pelajaran serta menggunakan pengetahuan/keterampilan yang sudah akrab bagi peserta didik. Dengan demikian, peserta didik dapat lebih siap dalam menerima materi baru dan lebih termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas maupun tugas-tugas pembelajaran yang telah di rancang oleh guru. Guru    dapat    mengukur    tingkat    pengetahuan    peserta    didik    sebelumnya    tersebut    dan menggunakannya sebagai landasan untuk mempersiapkan pembelajaran.

D.  Jenis-Jenis Kemampuan Awal Peserta Didik

Pembelajaran pada hakekatnya berkontribusi terhadap perkembangan intelektual manusia karena sifatnya yang kumulatif. Peserta didik pada dasarnya berkembang dari satu titik ke titik berikutnya di dalam perkembangannya, dimana mereka juga belajar serangkaian atau pun seperangkat kemampuan melalui proses diferensiasi, mengingat (recall), dan transfer pembelajaran.
Llewellyn (2002) berpendapat bahwa pembelajaran harus lebih bersifat kognitif dan tidak didasarkan pada transfer pengetahuan secara langsung dari pendidik kepada peserta didik semata. Peserta didik pada dasarnya merupakan individu yang 'unik' dan respon mereka terhadap konstruksi pengetahuan dalam konteks pembelajaran harus dipandang unik pula karena perbedaan dalam kemampuan awal mereka. Artinya adalah bahwasanya pengetahuan peserta didik adalah produk dari konstruksi mereka sendiri.
Pada hakekatnya, mengaitkan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya dapat memfasilitasi proses pembelajaran. Peserta didik dapat dengan lebih mudah melakukan coding dan menyimpan informasi dalam memori jangka panjang ketika ada tautan ke pengalaman dan pengetahuan pribadi. Cara sederhana untuk merangsang ingatan adalah dengan mengajukan pertanyaan tentang pengalaman sebelumnya, pemahaman tentang konsep sebelumnya, atau isi konten yang akan dipelajari. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk membangun pengetahuan atau keterampilan mereka sebelumnya.
Pada bagian ini, akan dibahas terkait jenis-jenis kemampuan awal untuk belajar keterampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, sikap, dan psikomotorik. Gagne (1977) mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam lima kategori atau taksonomi. Kelima taksonomi tersebut pada dasarnya merepresentasikan berbagai macam luaran sebagai hasil dari proses pembelajaran. Klasifikasi pembelajaran menurut Gagne (1977) meliputi lima jenis kemampuan atau ranah belajar, yakni: keterampilan intelektual, startegi kognitif, informasi verbal, sikap, dan psikomotor. Berikut akan diuraikan masing-masing jenis taksonomi atau kategori tersebut kaitannya dengan kemampuan awal peserta didik.
a.    Keterampilan Intelektual
Keterampilan intelektual merupakan jenis pengetahuan prosedural yang memerlukan kemampuan awal dengan jenis komponen keterampilan yang lebih sederhana. Keterampilan intelektual ini meliputi: 1) Diskriminasi; 2) Konsep konkret; 3) Penggunaan aturan; dan 4) Pemecahan masalah (problem solving).
Diskriminasi yang dimaksud disini adalah membuat respon-respon yang berbeda untuk masing-masing peserta didik dengan melihat dan mengamati beragam perbedaan esensial diantara input yang berbeda-beda tersebut serta meresponnya dengan beragam pula terhadap tiap-tiap input. Belajar memperbedakan disini adalah belajar membedakan hubungan stimulus respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep. Dalam merespon lingkungannya, peserta didik membutuhkan keterampilan-keterampilan sederhana sehingga dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan membedakan satu simbol dengan simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal dan memperbedakan jamak. Contoh memperbedakan tunggal, “siswa dapat menyebutkan segitiga sebagai lingkungan tertutup sederhana yang terbentuk dari gabungan tiga buah ruas garis”. Contoh memperbedakan jamak, siswa dapat menyebutkan perbedaan dari dua jenis segitiga berdasarkan besar sudut dan sisi-sisinya. Berdasarkan besar sudut yang paling besar adalah sudut siku-siku dan sisi terpanjang adalah sisi miringnya, sementara pada segitiga sama sisi besar sudut-sudutnya sama begitu pula dengan besar sisi-sisinya. Dalam hal ini guru dapat memberikan tes kemampuan awal dengan beragam jenis tes, misalnya dengan cara menanyakan kepada peserta didik tentang bentuk segitiga; meminta peserta didik yang lainnya menggambarkan bentuk segitiga; atau peserta didik diminta membedakan perbedaan sudut dan sisi.
Konsep konkret disebut juga belajar pembentukan konsep dimana peserta didik belajar mengenal sifat bersama dari benda-benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkannya menjadi satu. Misalnya, untuk memahami konsep persegi panjang, peserta didik diminta mengamati jendela rumah (yang bentuknya persegi panjang), batu bata, meja kerja dan sebagainya. Benda-benda konkret ini diupayakan sedekat mungkin dengan pengalaman peserta didik sebelumnya, artinya peserta didik memang sudah familiar betul dengan benda-benda yang disebutkan sebagai contoh oleh guru.
Penggunaan aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipelajari. Aturan merupakan pernyataan verbal, dalam matematika misalnya adalah: teorema, dalil, atau sifat-sifat. Contoh aturan dalam segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya. Dalam belajar pembentukan aturan memungkinkan anak untuk dapat menghubungkan dua konsep atau lebih. Sebagai contoh, terdapat sebuah segitiga dengan sisi siku-sikunya berturut-turut mempunyai panjang 3 cm dan 4 cm. Guru meminta anak untuk menentukan panjang sisi miringnya. Untuk menghitung panjang sisi miringnya, anak memerlukan suatu aturan Pythagoras yang berbunyi “pada suatu segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-sikunya”. Dengan menggunakan aturan di atas maka akan diperoleh perhitungan berupa 32 + 42 = 25 = 52, jadi panjang sisi miring yang ditanyakan adalah 5 cm. Dalam hal ini kemampuan awal yang bisa dielaborasi oleh guru adalah pemahaman peserta didik terkait aturan-aturan dalam rumus phythagoras. Guru juga bisa melakukan cek terhadap pemahaman peserta didik terkait segitiga siku-siku.
Pemecahan masalah dimaksudkan bahwasanya belajar memecahkan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi tingkatnya dan lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule learning). Pada tiap tipe belajar memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat formulasi penyelesaian masalah. Contoh belajar memecahkan masalah yang dilakukan oleh guru misalnya mencari selisih kuadrat dua bilangan yang sudah diketahui jumlah dan selisihnya. Dalam hal ini, kemampuan awal yang bisa dimasukkan ke dalam daftar atau format tujuan oleh guru berupa kemampuan peserta didik dalam memahami kuadrat dua bilangan. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar dimulai prasyarat yang sederhana, yang kemudian meningkat pada kemampuan kompleks. Gagne mengemukakan bahwa transfer belajar akan terjadi apabila pengetahuan dan keterampilan matematika yang telah dipelajari dan yang berkaitan dengan konsep dan prinsip, berhubungan langsung dengan permasalahan baru yang kita hadapi. Tetapi sebaliknya, apabila konteks yang baru tersebut membutuhkan suatu konsep dan prinsip yang berbeda dari kemampuan spesifik yang sudah dikuasai sebelumnya, maka transfer belajar tidak akan terjadi.

b.    Strategi Kognitif
Kapabilitas strategi kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan juga sintesis. Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan beberapa aspek seperti perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir peserta didik menjadi terarah.
Contoh penerapan dari kapabilitas strategi kognitif, adalah Guru Arya akan memberikan materi kepada peserta didik yakni terkait dengan macam-macam bencana alam. Di dalam apersepsi, untuk menggali kemampuan awal peserta didik, guru tersebut perlu mengembangkan proses berpikir mereka dengan memintanya untuk membaca artikel di majalah ilmiah terkait dengan macam-macam bencana alam. Apa yang dipelajari peserta didik dari artikel tersebut mungkin hanya berupa fakta, strategi, atau penerapan teori. Namun, untuk menyeleksi informasi yang dibacanya, dan memberikan kode terhadap informasi yang direkam dipikirannya, serta menemukan kembali informasi tersebut untuk keperluan pemerolehan pengetahuan baru, maka peserta didik harus mempergunakan strategi kognitif untuk memahami apa yang sudah dibaca dan dipelajarinya, terutama untuk memecahkan masalah ketika guru memberikan beberapa studi kasus di pembelaran inti. Berdasarkan kemampuan awal yang telah dimilikinya tersebut, maka peserta didik dapat membuat beberapa alternatif pemecahan masalah terkait mitigasi bencana.

c.    Informasi Verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi verbal diperoleh secara lisan, membaca buku dan sebagainya. Informasi ini dapat diklasifikasikan sebagai fakta, prinsip, nama generalisasi. Informasi Verbal juga merupakan kemampuan untuk mengenal dan menyimpan nama atau istilah, fakta, dan serangkaian fakta yang merupakan kumpulan pengetahuan. Contoh, ketika guru akan memberikan materi tentang perhitungan segitiga dengan menggunakan rumus Phytagoras, guru dapat membuat daftar kemampuan awal yang harus dimiliki oleh peserta didik tersebut dengan diantaranya dengan peserta didik mampu menyebutkan dalil Phytagoras yang berbunyi, “pada segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya.
Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan awal terkait dengan penyebutan bidang-bidang geometri oleh peserta didik untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki pelajaran geometri.
Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian, peserta didik perlu mengetahui dasar-dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem kendali. Oleh karenanya, kemampuan awal yang harus dimiliki peserta didik dalam pengendali elektronik pada mata pelajaran PPSK diantaranya adalah menyebutkan prinsip pengoperasian, merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali elektronik.

d.   Sikap
Kapabilitas sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap
stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negatif, hal ini tergantung kepada penilaian terhadap objek yang dimaksud, apakah sebagai objek yang penting atau tidak.
Contoh, seorang pserta didik memasuki toko buku yang didalamnya tersedia berbagai macam jenis buku, bila peserta didik tersebut memiliki sikap positif dan senang terhadap matematika, tentunya sikap yang dimilikinya tersebut akan berimplikasi terhadap terpengaruhnya peserta didik tersebut dalam memilih buku matematika dibandingkan dengan buku lain.

e.    Psikomotor
Untuk mengetahui seseorang memiliki kapabilitas keterampilan motorik, kita dapat melihatnya dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot, serta anggota badan yang diperlihatkan orang tersebut. Kemampuan dalam mendemonstrasikan alat-alat


peraga matematika merupakan salah satu contoh tingkah laku kapabilitas ini. Dalam hal ini maka kemampuan awal yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah diantaranya mampu menggunakan penggaris, jangka, sampai kemampuan menggunakan alat-alat tadi untuk membagi sama panjang suatu garis lurus.
Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan awal terkait dengan kemampuan perkalian peserta didik untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki pelajaran geometri.
Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian, kemampuan awal yang harus dimiliki oleh peserta didik tidak hanya perlu mengetahui dasar- dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem kendali saja melainkan juga dapat merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali elektronik.

Kamis, 04 Januari 2018

Pendidikan Karakter1. Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan mempunyai arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara perbuatan mendidik.  Karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris : character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam.  Karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi,adat istiadat dan estetika.  Karena itu menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter adalah “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif bagi lingkungannya.”  Pendidikan Karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasikan nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.  Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran, yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh, yang di dasari oleh nilai yang di rujuk sekolah (lembaga)  b. Ciri-ciri Pendidikan Karakter Ciri dasar pendidikan karakter, menurut Foerster ada empat ciri dasar pendidikan karakter : 1) Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. 2) Koherensi yang member keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip, dan tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. 3) Otonomi di mana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. 4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan seseorang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.  Sedangkan Rusworth Kidder dalam How Good People make Tough Choices menyampaikan tujuh kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter, yaitu Seven E’s (Emprowered, Effective, Extended in to the community, Embedded, Engaged, Epistemological, Evaluative). 1) Emprowered (pemberdayaan) Guru harus mampu memberdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan mulai dari dirinya sendiri 2) Effektive, proses pendidikan harus dilaksanakan dengan efektif 3) Extended into community komunitas harus membantu dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai 4) Embedded , integrasikan seluruh nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran 5) Engaged, melibatkan komunitas dan menampilkan topik-topik yang cukup esensial 6) Epistemological, harus ada koherensi antara cara berfikir mekna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu siswa menerapkan secara benar 7) Evaluative, menurut Kiddet terdapat lima hal yang harus diwujudkan dalam menilai manusia berkarakter, yaitu (a) diawali dengan kesadaran etik; (b) adanya kepercayaan diri untuk berfikir dan membuat keputusan tentang etik; (c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara praktis dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan pengalaman praktis tersebut dalam sebuah komunitas; dan (e) mempunyai kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam merealisasikan ide-ide etik dan menciptakan suasana yang berbeda.  c. Fungsi Pendidikan Karakter Adapun Fungsi pendidikan karakter budaya dan karakter bangsa adalah : 1) Pengembangan : pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; 2) Perbaikan : memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggungjawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan 3) Penyaring : untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.  d. Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah : 1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani /afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).  Sedangkan tujuan pendidikan karakter dalam dalam seting sekolah adalah : 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian /kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai- nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter secara bersama.  Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus sekolah). Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam setting sekolah bukanlah sekedar dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasaan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam setting kelas maupun sekolah. Penguatanpun memiliki makna adanya hubungan antara penguatan perilku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah .  Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku peserta didik yang tidak berkesusaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif.  Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter setting sekolah adalah membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga.  e. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan. Dua hal ini, jika integrasikan akan menjadi pendidikan karakter sebagai pedagogi. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut : 1) Agama : masyarakat Indonesia adalah masyarakat agama. Oleh karena itu kehidupan individu, masyarakat dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. 2) Pancasila : Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang di sebut Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang baik, yaitu warga Negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga Negara. 3) Budaya : sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh niali-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4) Tujuan pendidikan nasional : sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga Negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai-nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga Negara Indonesia. Oleh karena itu tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.  Adapun nilai-nilai pendidikan karakter pada SK/KD seluruh mata pelajaran di SMP/MTs adalah : Religiusitas, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreativitas, kemandirian, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan dan tanggungjawab.  Secara terinci, deskripsi nilai-nilai pendidikan karakter tercantum pada tabel dibawah ini : Tabel 1 Deskripsi nilai-nilai pendidikan karakter Nilai Deskripsi 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.   Nilai Deskripsi 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13.Bersahabat/ Komuni-katif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.   Nilai Deskripsi 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. f. Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah Pada prinsipnya, pendidikan karakter di sekolah tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.  Adapun prinsip yang digunakan dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah antara lain : 1) Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. 2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. 3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta yang dijumpai dalam mata pelajaran yang diajarkan. Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu. 4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.  Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini : 1) Program Pengembangan Diri Dalam program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu melalui hal-hal berikut : a) Kegiatan rutin sekolah; merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman. b) Kegiatan spontan; yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Contohnya seperti membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh. c) Keteladanan ; yakni perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. d) Pengkondisian; Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.  2) Pengintegrasian dalam mata pelajaran Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini: a) Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya; b) menggunakan tabel 1 yang memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan; c) mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel 1 itu ke dalam silabus; d) mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP; e) mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan f) memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.  3) Budaya Sekolah Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.  Untuk memudahkan sekolah dalam mengevaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, pihak sekolah perlu membuat indikator, baik indikator untuk sekolah dan kelas maupun indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan karakter. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu. Indikator ini dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah.  Tabel 2 Indikator Sekolah dan Indikator Kelas NILAI INDIKATOR SEKOLAH INDIKATOR KELAS Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut-nya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain  Merayakan hari-hari besar keaga-maan.  Memiliki fasilitas yang dapat diguna-kan untuk beribadah.  Memberikan ke-sempatan kepada semua peserta di-dik untuk melak-sanakan ibadah  Berdoa sebelum dan sesudah pelajaran.  Memberikan kesem-patan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah. Jujur: Perilaku yang dida-sarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat diper-caya dalam perka-taan, tindakan, dan peker-jaan.  Menyediakan fasi-litas tempat temu-an barang hilang.  Tranparansi lapo-ran keuangan dan penilaian sekolah secara berkala.  Menyediakan kan-tin kejujuran.  Menyediakan ko-tak saran dan  Larangan memba-wa fasilitas komu-nikasi  Menyediakan fasilitas tempat temuan barang hilang.  Tempat pengumuman barang temuan atau hilang.  Tranparansi laporan keuangan dan peni-laian kelas secara berkala.  Larangan menyontek. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, penda-pat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.  Menghargai dan memberikan perla-kuan yang sama terhadap seluruh warga sekolah tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, status eko-nomi, dan kemam-puan khas.  Memberikan perla-kuan yang sama terhadap stake-holder tanpa mem-bedakan golongan, status sosial, dan status ekonomi  Memberikan pelaya-nan yang sama ter-hadap seluruh warga kelas tanpa membe-dakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan status ekonomi.  Memberikan pelaya-nan terhadap anak berkebutuhan khusus.  Bekerja dalam ke-lompok yang berbeda Disiplin: Tindakan yang menunjukkan pe-rilaku tertib dan patuh pada ber-bagai ketentuan dan peraturan.  Memiliki catatan kehadiran.  Memberikan peng-hargaan kepada warga sekolah yang disiplin.  Memiliki tata tertib sekolah.  Membiasakan war-ga sekolah untuk berdisiplin.  Menegakkan atu-ran dengan mem-berikan sanksi secara adil bagi pelanggar tata tertib sekolah.  Membiasakan hadir tepat waktu.  Membiasakan mema-tuhi aturan.  Menggunakan pakai-an sesuai dengan ketentuan sekolah Kerja keras: Perilaku yang me-nunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.  Menciptakan sua-sana kompetisi yang sehat.  Menciptakan sua-sana sekolah yang menan-tang dan memacu untuk bekerja keras.  Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja.  Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.  Menciptakan kondisi etos kerja, pantang menyerah, dan daya tahan belajar.  Mencipatakan suasana belajar yang memacu daya tahan kerja.  Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang giat bekerja dan belajar. Kreatif: Berpikir dan mela-kukan sesuatu yang menghasil-kan cara atau hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki.  Menciptakan situ-asi yang menum-buhkan daya ber-pikir dan bertin-dak kreatif.  Menciptakan situasi belajar yang bisa menumbuhkan daya piker dan bertindak kreatif.  Pemberian tugas yang menantang munculnya karya- karya baru baik yang autentik maupun modifikasi. Mandiri: Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tu-gas-tugas.  Menciptakan situ-asi sekolah yang membangun ke-mandirian peserta didik.  Menciptakan sua-sana kelas yang memberi-kan kesempatan kepa-da peserta didik untuk bekerja mandiri. Demokratis: Cara berpikir, ber-sikap, dan bertin-dak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.  Melibatkan warga sekolah dalam se-tiap pengambilan keputusan.  Menciptakan sua-sana sekolah yang menerima perbe-daan.  Pemilihan kepe-ngurusan OSIS secara terbuka.  Mengambil keputusan kelas secara bersama melalui musyawarah dan mufa-kat.  Pemilihan kepengu-rusan kelas secara terbuka.  Seluruh produk kebi-jakan melalui musya-warah dan mufakat.  Mengimplementasikan model-model pembe-lajaran yang dialogis dan interaktif. Rasa ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu ber-upaya untuk me-ngetahui lebih mendalam dan meluas dari sesu-atu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.  Menyediakan me-dia komunikasi a-tau informasi (me-dia cetak/ elektro-nik) untuk bereks-presi bagi warga sekolah.  Memfasilitasi war-ga sekolah untuk bereksplorasi da-lam pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya.  Menciptakan suasana kelas yang mengun-dang rasa ingin tahu.  Eksplorasi lingkungan secara terprogram.  Tersedia media komu-nikasi atau informasi (media cetak atau media elektronik). Semangat kebangsaan: Cara berpikir, ber-tindak, dan berwa-wasan yang me-nempatkan ke-pentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.  Melakukan upa-cara rutin sekolah.  Melakukan upa-cara hari-hari besar nasional.  Menyelenggarakan peringatan hari ke-pahlawanan na-sional.  Memiliki program melakukan kunju-ngan ke tempat bersejarah.  Mengikuti lomba pada hari besar nasional.  Bekerja sama dengan teman sekelas yang berbeda suku, etnis, status sosial-ekonomi.  Mendiskusikan hari-hari besar nasional. Cinta tanah air: Cara berpikir, bersikap, dan ber-buat yang menun-jukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingku-ngan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.  Menggunakan pro-duk buatan dalam negeri.  Menggunakan ba-hasa Indonesia yang baik dan benar.  Menyediakan informasi (dari sumber cetak, elektronik) tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia.  Memajangkan: foto presiden dan wakil presiden, bendera ne-gara, lambang negara, peta Indonesia, gam-bar kehidupan masya-rakat Indonesia.  Menggunakan produk buatan dalam negeri. Menghargai prestasi: Sikap dan tindakan yang men-dorong dirinya un-tuk menghasilkan sesuatu yang bergu-na bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati ke-berhasilan orang lain.  Memberikan peng-hargaan atas hasil prestasi kepada warga sekolah.  Memajang tanda-tanda penghargaan prestasi.  Memberikan penghar-gaan atas hasil karya peserta didik.  Memajang tanda-tanda penghargaan prestasi.  Menciptakan suasana pembelajaran untuk memotivasi peserta didik berprestasi. Bersahabat/ komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan ra-sa senang berbica-ra, bergaul, dan bekerja sama de-ngan orang lain.  Suasana sekolah yang memudah-kan terjadinya interaksi antar-warga sekolah.  Berkomunikasi dengan bahasa yang santun.  Saling menghar-gai dan menjaga kehormatan.  Pergaulan dengan cinta kasih dan rela berkorban.  Pengaturan kelas yang memudahkan terjadi-nya interaksi peserta didik.  Pembelajaran yang dialogis.  Guru mendengarkan keluhan- keluhan pe-serta didik.  Dalam berkomunikasi, guru tidak menjaga jarak dengan peserta didik. Cinta damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan o-rang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya  Menciptakan sua-sana sekolah dan bekerja yang nya-man, tenteram, dan harmonis.  Membiasakan peri-laku warga sekolah yang anti keke-rasan.  Membiasakan peri-laku warga sekolah yang tidak bias gender.  Perilaku seluruh warga sekolah yang penuh kasih sa-yang.  Menciptakan suasana kelas yang damai.  Membiasakan perilaku warga sekolah yang anti kekerasan.  Pembelajaran yang tidak bias gender.  Kekerabatan di kelas yang penuh kasih sayang. Gemar membaca: Kebiasaan menye-diakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang mem-berikan kebajikan bagi dirinya.  Program wajib baca.  Frekuensi kunju-ngan perpustakaan.  Menyediakan fasi-litas dan suasana menyenangkan un-tuk membaca.  Daftar buku atau tulisan yang dibaca peserta didik.  Frekuensi kunjungan perpustakaan.  Saling tukar bacaan.  Pembelajaran yang memotivasi anak menggunakan referensi. Peduli sosial: Sikap dan tinda-kan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.  Pembiasaan meme-lihara kebersihan dan kelestarian lingkungan sekolah.  Tersedia tempat pembuangan sam-pah dan tempat cuci tangan.  Menyediakan ka-mar mandi dan air bersih.  Pembiasaan hemat energi.  Membuat biopori di area sekolah.  Membangun salu-ran pembuangan air limbah dengan baik.  Melakukan pembia-saan memisahkan jenis sampah orga-nik dan anorganik.  Penugasan pembu-atan kompos dari sampah organik.  Menyediakan per-alatan kebersihan.  Membuat tandon penyimpanan air.  Memrogramkan cinta bersih ling-kungan.  Memelihara lingku-ngan kelas.  Tersedia tempat pem-buangan sampah di dalam kelas.  Pembiasaan hemat energi.  Memasang stiker pe-rintah mematikan lampu dan menutup kran air pada setiap ruangan apabila selesai digunakan.   Peduli lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu ber-upaya mencegah kerusakan lingku-ngan alam di sekitarnya dan me-ngembangkan upa-ya-upaya untuk memperbaiki keru-sakan alam yang sudah terjadi.  Memfasilitasi kegi-atan bersifat sosial.  Melakukan aksi sosial.  Menyediakan fasi-litas untuk me-nyumbang.  Berempati kepada sesama teman kelas.  Melakukan aksi sosial.  Membangun keru-kunan warga kelas. Tanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masya-rakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.  Membuat laporan setiap kegiatan yang dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis.  Melakukan tugas tanpa disuruh  Menunjukkan pra-karsa untuk me-ngatasi masalah dalam lingkup ter-dekat.  Menghindarkan kecurangan dalam pelaksanaan tugas.  Pelaksanaan tugas piket

Hakikat Membaca Pemahaman
a.      Pengertian Membaca  
Henry Guntur Tarigan (2008 : 7) menyatakan bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis. Selanjutnya, dipandang dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi ( a recording and decoding process), berlainan  dengan berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandian ( encoding ), sebuah aspek pembacaan sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis ( written word) dengan makna bahasa lisan ( oral language meaning ) yang mencakup  pengubahan tulisan/cetakan menjadi bunyi yang bermakna. Membaca dapat pula diartikan sebagai suatu metode yang kita pergunakan untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri dan orang lain yaitu mengkomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis.
Finochiaro and Bonomo ( 1973 : 119) mengatakan bahwa ” Reading is bringing meaning to and getting meaning from printed or written material”, memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung  di dalam bahan tertulis.
Sementara itu Mansoer Pateda (1989:92) berpendapat, membaca adalah suatu interpretasi simbol-simbol tertulis atau membaca adalah menangkap makna dari rangkaian huruf tertentu. Ini menunjukkan bahwa membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi simbol-simbol dan mengasosiasikan kedalam makna.
Robert Lado dalam bukunya menyatakan bahwa ” Reading is to grasp language pattern from their written representation” (1976:132). Membaca ialah memahami pola-pola bahasa dari gambaran tertulisnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, terutama teknologi percetakan maka semakin banyak informasi yang tersimpan di dalam buku. Pada semua jenjang pendidikan, kemampuan membaca menjadi skala prioritas yang harus dikuasai siswa.
Kegiatan membaca juga merupakan aktivitas berbahasa yang bersifat aktif reseptif. Dikatakan aktif, karena di dalam kegiatan membaca sesungguhnya terjadi interaksi antara pembaca dan penulisnya, dan dikatakan reseptif, karena si pembaca bertindak selaku penerima pesan dalam suatu korelasi komunikasi antara penulis dan pembaca yang bersifat langsung.
Bagi siswa, membaca tidak hanya berperan dalam menguasai bidang studi yang dipelajarinya saja. Namun membaca juga berperan dalam mengetahui berbagai macam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Melalui membaca, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diketahui dan dipahami sebelum dapat diaplikasikan.
b.      Membaca  Pemahaman
Henry Guntur Tarigan (1988:89) berpendapat bahwa kemampuan membaca pemahaman merupakan dasar bagi pembaca kritis, yaitu sejenis membaca yang dilaksanakan secara bijaksana, penuh tenggang hati,mendalam,evaluatif, serta analisis, dan bukan hanya mencari keslahan. Untuk dapat membaca pemahaman diperlukan suatu ketrampilan dari seseorang antara lain : menemukan detail, menunjukkan pikiran pokok, menunjukkan urutan kegiatan, mencapai kata akhir, menarik kesimpulan, dan membuat evaluasi.
Secara umum kata pemahaman diartikan sebagai upaya memahami atau mengerti isi dan makna dari suatu wacana baik berbentuk lisan maupun tulisan. Memahami wacana tulis berarti usaha seseorang dalam memahami atau mengerti isi suatu wacana yang disajikan dalam bentuk tulisan, yang dalam kegiatan berbahasa disebut membaca, sedangkan memahami wacana lisan berarti upaya seseorang dalam memahami atau mengerti isi dari wacana yang disajikan dalam bentuk lisan, yang dalam kegiatan berbahasa dinamakan menyimak (Sutrisno, 2002:17). Lebih lanjut, pemahaman diartikan  sebagai masalah penafsiran (interpretation) dan harapan (expectancy), yaitu penafsiran terhadap apa yang diperoleh darin tulisan yang dibaca dan harapan untuk menemukan dan menggunakan hal-hal yang ditemukan dalam bacaan tersebut, Mackey dalam Sutrisno(2002:17).
Lebih lanjut, Henry Guntur Tarigan (2008:58) dalam bukunya mengatakan bahwa membaca pemahaman( reading fo understanding) adalah membaca yang bertujuan untuk memahami : (1) standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary sandards), (2) resensi kritis (critical review), (3) drama tulis(printed drama), (4) pola-pola fiksi (patterns of fiction).
Sementara itu Lado (1987: 223) berpendapat bahwa kemampuan membaca pemahaman adalah kemampuan memahami arti dalam suatu bacaan melalui tulisan atau bacaan.
c.       Aspek dan Jenis-jenis Membaca 
Membaca merupakan satu dari empat kemampuan bahasa pokok, dan merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi tulisan.
Ada
pun kemampuan bahasa pokok atau keterampilan berbahasa dalam kurikulum di sekolah mencakup empat segi,yaitu:
1.   Keterampilan menyimak/mendengarkan (Listening Skills)
2.   Keterampilan berbicara (SpeakingSkills)
3.   Keterampilan membaca (ReadingSkills)
4.   Keterampilan Menulis (Writing Skills)
Henry Guntur Tarigan  (2008:1)
Empat keterampilan berbahasa tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lain, dan saling berkorelasi. Seorang bayi pada tahap awal, ia hanya dapat mendengar, dan menyimak apa yang di katakan orang di sekitarnya. Kemudian karena seringnya mendengar dan menyimak secara berangsur ia akan menirukan suara atau kata-kata yang didengarnya dengan belajar berbicara. Setelah memasuki usia sekolah, ia akan belajar membaca mulai dari mengenal huruf sampai merangkai huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata bahkan menjadi sebuah kalimat. Kemudian ia akan mulai belajar menulis huruf, kata, dan kalimat.
Keterampilan berbahasa berkorelasi dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa. sehingga ada sebuah ungkapan, “bahasa seseorang mencerminkan pikirannya”. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pikirannya.
Secara garis besar, terdapat dua aspek penting dalam membaca yaitu :
1.      Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills) yang dianggap berada pada urutan yang lebih rendah (lower order) yang mencakup ; a) pengenalan bentuk huruf, b) pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat dan lain-lain), c) pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis atau “to bark at print”, d) kecepatan membaca ke taraf lambat.
2.      Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehention skills) yang dianggap berada di urutan yang lebih tinggi ( higher order ) yang mencakup ; a) memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), b) memahami signifikansi atau makna ( a.l. maksud dan tujuan pengarang,relevansi/keadaan kebudayaan, dan reaksi pembaca, c) evaluasi atau penilaian (isi, bentuk), d) kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan, Broughton dalam Tarigan (2008:12-13).
Untuk dapat mencapai tujuan yang terkandung dalam keterampilan mekanis (mechanical skills) tersebut, aktifitas yang paling sesuai adalah membaca nyaring, membaca bersuara (atau reading aloud; oral reading). Untuk keterampilan pemahaman (comprehention skills), yang paling tepat adalah dengan membaca dalam hati (silent reading), yang dapat pula dibagi atas :
1.      Membaca ekstensif (extensive reading), yang mencakup ; a) membaca survei (survey reading), b) membaca sekilas ( skimming), c) membaca dangkal (superficial reading).
2.      Membaca intensif yang mencakup ; a) membaca telaah isi (content study reading), yang mencakup pula  (1) membaca teliti (close reading), (2) membaca pemahaman (comprehention reading), (3) membaca krtitis (critical reading), (4) membaca ide ( reading for ideas); b) membaca telaah bahasa  (laguage study reading) yang mencakup pula (1) membaca bahasa asing( foreign language reading), (2) membaca sastra (literary reading) Tarigan (2008:13).
d.      Tujuan Membaca  Pemahaman
Tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi,memahami makna bacaan. Makna, arti (meaning) erat sekali berhubungan dengan maksud tujuan, atau intensif kita dalam membaca, Tarigan (2008:9). Hal penting dalam tujuan membaca adalah :
1.      Membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for detail or facts).
2.      Membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas)
3.      Membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita ( reading for sequence or organization).
4.      Membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference).
5.      Membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan ( reading for classify).
6.      Membaca untuk menilai, membaca mengevalusi ( reading to evaluate).
7.      Membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast) Anderson dalam Tarigan (2008:9-11).
                                    Membaca adalah suatu aktifitas yang rumit atau kompleks karena tergantung pada ketrampilan berbahasa pelajar dan pada tingkat penelarannya. Tujuannya adalah untuk mengerti atau memahami isi/pesan yang terkandung dalam satu bacaan seefisien mungkin serta untuk mencari informasi yang :
b.      Kognitif dan intelektual, yakni yang digunakan seseorang untuk menambah keilmiahannya sendiri.
c.       Referensial dan faktual, yakni yang digunakan seseorang untuk mengetahui fakta-fakta yang nyata di dunia ini.
d.      Afektif dan emosional, yakni yang digunakan seseorang untuk mencari kenikmatan dalam membaca. (Sri Utari Subyakto-Nababan, 1993:164-165).

Dengan membaca siswa akan memperoleh berbagai informasi yang sebelumnya belum pernah didapatkan. Semakin banyak membaca semakin banyak pula informasi yang diperoleh. Oleh karena itu, membaca merupakan jendela dunia, siapa pun yang membuka jendela tersebut dapat melihat dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Baik peristiwa yang terjadi pada masa lampau, sekarang, bahkan yang akan datang.
Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca. Oleh karena itu, sepantasnyalah siswa harus melakukannya atas dasar kebutuhan, bukan karena suatu paksaan. Jika siswa membaca atas dasar kebutuhan, maka ia akan mendapatkan segala informasi yang ia inginkan. Namun sebaliknya, jika siswa membaca atas dasar paksaan, maka informasi yang ia peroleh tidak akan maksimal.

Membaca merupakan kemampuan yang kompleks. Membaca bukanlah kegiatan memandangi lambang-lambang yang tertulis semata. Bermacam-macam kemampuan dikerahkan oleh seorang pembaca, agar dia mampu memahami materi yang dibacanya. Pembaca berupaya agar lambang-lambang yang dilihatnya itu menjadi lambang-lambang yang bermakna baginya.

Kegiatan membaca perlu dibiasakan sejak dini, yakni mulai dari anak mengenal huruf. Jadikanlah kegiatan membaca sebagai suatu kebutuhan dan menjadi hal yang menyenangkan bagi siswa. Membaca dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja asalkan ada keinginan, semangat, dan motivasi. Jika hal ini terwujud, diharapkan membaca dapat menjadi bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan seperti sebuah slogan yang mengatakan “tiada hari tanpa membaca”.

Tentunya ini memerlukan ketekunan dan latihan yang berkesinambungan untuk melatih kebiasaan membaca agar kemampuan membaca, khususnya membaca pemahaman dapat dicapai. Kemampuan membaca ialah kecepatan membaca dan pemahaman isi secara keseluruhan.